Upaya
Perdamaian Melalui Sistem Pertahanan Negara
Untuk
Mencegah Disintegrasi Bangsa di Papua

Oleh : DILLA DELIMA
19211441
2EA03
FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013
Upaya Perdamaian Melalui Sistem
Pertahanan Negara
Untuk Mencegah Disintegrasi Bangsa
di Papua

DILLA DELIMA
19211441
2EA03
Karya Tulis
Sebagai salah satu syarat yang
diajukan untuk memenuhi syarat program studi Pendidikan studi Kewarganegaraan
FAKULTAS
EKONOMI MANAJEMEN
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2013
KATA
PENGHARGAAN
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas berkah dan rahmat-NYA penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul
Yang
merupakan syarat guna memenuhi tugas program studi pendidikan kewarganegaraan.
Selama makalah ini dibuat penulis banyak menerima motivasi, bantuan, serta
dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada :
1.
Drs.
Djumharjinis selaku dosen pembimbing yang telah memberi tugas dan bersedia
meluangkan waktu serta pikirannya untuk memberikan arahan, kritik, serta saran
motivasi bagi penulis untuk melakukan penyelesaian makalah ini.
2.
Orang tua
yang telah membesarkan dan memberi motivasi terbesar untuk terus belajar dan
bersemangat demi mencapai cita-cita, dan doa selama ini.
3.
Teman-teman
kelas yang memberikan kebersamaan terlebih memberikan catatan-catatan kecil
dalam penyelesaian tugas makalah ini, dan juga semangat yang selalu diberikan
untuk menyelesaikan makalah ini.
Depok, Maret 2013
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata
Penghargaan ………………………………………………………... i
DAFTAR
ISI ………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………............. 1
Latar
Belakang ………………………………………………………... 1
1.1
Penegasan Mengenai Judul ………………………………………. 3
1.2
Alasan Pemilihan Judul ………………………………………. 4
1.3
Tujuan Research yang Diselenggarakan ……………………………… 5
BAB II
ANALISIS LANDASAN TEORI ……………………………… 6
2.1
Analisis Hasil-hasil ………………………………………………. 6
2.2
Penampilan Anggapan ………………………………………………. 10
2.3 Hasil
yang Diharapkan ………………………………………………. 11
BAB III
ANALISIS dan PENETAPAN ETODE YANG DIGUNAKAN ……. 12
Metode
Penelitian ……………………………………………………….. 12
3.1
Sample, Prosedur Sampling ………………………………………. 12
BAB IV
PEMBAHSAN ……………………………………………….. 13
4.1
Uraian Secara Singkat ……………………………………………….. 13
BAB VI
KESIMPULAN dan SARAN ……………………………… 18
6.1
Ungkapan Singkat Tentang Masalah ……………………………… 18
6.2
Kesimpulan ……………………………………………………….. 23
6.3 Saran ……………………………………………………….. 24
DAFTAR
PUSTAKA ……………………………………………………….. 25
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Sejak merdeka negara Indonesia tidak luput dari
gejolak dan ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup negara. Tetapi bangsa
Indonesia mampu mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya dari agresi
Belanda dan mampu menegakan wibawa pemerintahan dari gerakan separatis.
Ditinjau dari geopolitik dan geostrategi dengan posisi
geografis, sumber daya alam dan jumlah serta kemampuan penduduk telah
menempatkan Indonesia menjadi ajang persaingan kepentingan dan perebutan pengaruh
antara negara besar. Hal ink secara langsung meupun tidak memberikan dampak
negatif terhadap segenap aspek kehidupan sehingga dapat mempengaruhi dan
membahayakan kelangsungan hidup dan ekstitensi NKRI. Untuk itu Indonesia harus
memiliki keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional sehingga berhasil mengatasi setiap bentuk tantangan dan gangguan dari manapun datangnya.
Dalam sejarah perpolitikan dunia,
banyak terjadi konflik internal yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Fenomena konflik internal ini banyak terjadi di negara-negara yang memiliki
keberagaman SARA. Konflik internal sendiri semakin menjadi sorotan setelah
berakhirnya Perang Dingin dan menghangatnya isu nasionalisme di berbagai
wilayah di negara-negara Eropa Tengah, Eropa Timur, Afrika hingga Asia,
termasuk Indonesia. Di wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
salah satu konflik internal yang telah terjadi sejak lama adalah konflik Papua.
Konflik ini berkembang dengan isu yang semakin meluas yang kemudian membawa
kepada munculnya keinginan untuk disintegrasi.
Mencari jalan keluar untuk konflik
Papua harus tetap melihat faktor historisnya. Mulai dari proses dekolonisasi
Papua (Belanda Nugini), Tindakan Pemilihan Bebas (Pepera) pada tahun 1969,
kebijakan Orde Baru (1967-1998), dan dinamika politik selama periode transisi
menuju demokrasi hingga hari ini, serta periode otonomi khusus. Namun,
upaya-upaya untuk merangkul Papua secara penuh dengan memberikan otonomi khusus
juga tidak mampu meredam konflik di provinsi paling timur Indonesia itu.
Konflik tersebut tetap membawa pada keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI.
Menurut Viva Ona Bartkus, pemisahan
diri adalah sebuah penarikan diri secara resmi dari sebuah negara yang telah
diakui oleh dunia internasional, melalui satuan konstituante untuk menciptakan
sebuah negara berdaulat yang baru. Hal ini yang
hingga kini diperjuangkan oleh Papua. Masyarakat Papua melakukan
perjuangan atas nilai-nilai, status, kekuatan, dan keinginan untuk mengelola
hasil sumber daya mereka sendiri sehingga bisa dirasakan oleh seluruh rakyat
Papua.
1.1 Penegasan Mengenai Judul
Dalam makalah ini penulis mengangkat
judul upaya perdamaian bangsa di papua
untuk mencegah disintegrasi melalui sistem pertahanan negara. Mengapa?
Karena persoalan disintegrasi yang terjadi di papua sudah sangat lama dan perlu
benar-benar utnuk di tindak lanjuti apa yang harus dilakukan dan upaya apa yang
tepat untuk meredam konflik yang terjadii selama hampir satu dekade ini.
Sistem
pertahanan suatu negara merupakan suatu sitem yang mengatur bangsa yang terdiri
atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan
nasional dalam menghadapi segala macam bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan
gangguan baik yang datang dari dalam mapun luar, secara langsung maupun tidak
langsung dalam rangka mewujudkan tujuan perjuangan nasional.
Sebuah
perdamaian adalah hak dari seluruh bangsa yang diinginkan, namun hal tersebut tidak
bisa dirasakan begitu saja apabila masih ada sebuah daerah yang merasa dan
ingin keluar dari wilayah NKRI. proses
penanganan konflik Papua memang tidak menutup kemungkinan melibatkan TNI.
Tetapi, pelibatan itu harus sesuai
ketentuan dalam memberdayakan TNI gangguan keamanan selain perang.
"Perbantuan itu sifatnya harus dan semestinya harus didasarkan pada
putusan presiden sesuai Pasal 7 ayat 3 Undang-undang (UU) TNI, sesuai
persetujuan atau legitimasi politik.
1.2 Alasan Pemilihan Judul
Upaya perdamaian bangsa di papua
untuk mencegah disintegrasi melalui sistem pertahanan negara merupakan suatu
permasalahan yang sangat sensitif dan amat penting bagi keutuhan wilayah NKRI.
Karena apabila sampai keluarnya wilayah papua dari kedaulatan NKRI maka akan
berkurang kembali pulau yang ada di Indonesia, dan semakin sedikit pula
masyarakat serta sumber kekayaan alam yang kita miliki, maka dari hal tersebut
kita harus segera menyelesaikan masalah yang terjadi.
Pemerintah daerah pun tidak mampu dalam
menangani masalah yang berada di wilayahnya, perlu hal yang benar-benar membuat
masyarakat papua yakin bahwa mereka akan lebih baik berada dalam wilayah
kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 30 ayat ( 1 )
yang berisi tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Hal tersebut
menjelaskan bahwa seluruh masyarakat
Indonesia berhak wajib melindungi wilayah persatuan dengan bersama-sama
membangun pertahanan negara. Dengan tidak melupakan hal-hal yang sudah tercantum dalam UU
nomor 3 tahun 2002.
Pemerintah
harus berkomunikasi dengan baik dan konsisten dalam membuat kebijakan di daerah
papua, melakukan pendekatan-pendekatan secara kultural. Dengan mencontoh dari
mantan presiden alm KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah melalui pendekatan
kultural, dan dampaknya sangat positif bagi NKRI.
"Bayangkan Gus Dur begitu sampai
di Bandara Cenderawasih langsung ziarah ke makam Theis H Eluway (Ketua
Persedium Dewan Papua - PDP), itu sama dengan menghormati tokoh adat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya
tidak perlu merasa takut berdialog dengan masyarakat papua.
Demikianlah alasan nengapa penulis mengangkat tema upaya
perdamaian melalui sistem pertahanan negara untuk mencegah disintegrasi bangsa
papua, agar wilayah NKRI tidak ada yang berkurang dan Indonesia menjadi negara
kesatuan yang utuh dan sejahtera. sudah dibuat ini bisa dijadikan dengan
sebagaimana mestinya.
1.3
Tujuan Research
Yang Diselenggarakan
Tujuan
Umum
Tujuan diadakannya penelitian ini
yaitu :
1.
Bagaimana
cara terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di papua selama satu
dekade ini
2.
Faktor-faktor
yang membuat disintegrasi dalam suatu negara
Tujuan Khusus
Menyelesaikan tugas mata kuliah
Kewarganegaraan tentang upaya perdamaian bangsa di papua untuk mencegah
disintegrasi melalui sistem pertahanan negara
BAB II
ANALISIS
LANDASAN TEORI
2.1 Analisis Hasil-hasil
Sehubungan mengenai analisis upaya perdamaian bangsa di papua untuk mencegah
disintegrasi melalui sistem pertahanan negara adalah membicarakan mengenai pengertian dari sistem
pertahanan negara, penyebab timbulnya disintegrasi, dan bagaimana cara mencegah
disintegrasi dalam suatu negara. Kita analisis terlebih dahulu pengertian dari
sistem pertahanan negara.
Pertahanan Negara
adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan
segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara,
disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagainegara
kepulauan(UU 34/2004, Pasal 1 ayat 5). Pertahanan
negara merupakan upaya utama untuk mewujudkan salah satu tujuan nasional
sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Mengenai
masalah yang terjadi dalam perdamaian di daerah papua membuat sebagian
pemerintah khawatir akan kelangsungan hidup masyarakat sekitar disana, karena
dengan terjadinya konflik biasanya mereka memblokir kawasan-kawasan arena dan
daerah tertentu sehingga kebutuhan pokok tidak bisa masuk ke wilayah tersebut
sehingga tidak sedikit masyarakat terutama anak – anak dan perempuan yang
kekurangan bahan kebutuhan pokok.
Penyebab
timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak
adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada
daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/
berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri
dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi. Ditandai munculnya gerakan
yang menurut pemerintah adalah gerakan separatis di Papua melalui OPM (
Organisasi Papua Merdeka ), Aceh dengan Gam ( Gerakan Aceh Merdeka ) serta
banyaknya gerakan yang berupaya melepaskan diri dari wilayah kesatuan NKRI dan
juga gerakan ini adalah sebuah bentuk bahwa sebenarnya Indonesia ternyata belum
mampu memberikan kesadaran politik serta belum adanya sebuah upaya
serius untuk membenahi ketimpangan antara daerah yang kaya dengan daerah yang
miskin. Gerakan semacam ini di Negara dianggap sebagai gerakan yang murni ingin
memisahkan diri kita berpandangan secara sosiologis gerakan ini adalah gerakan
hati nurani rakyat yang masih di tindas oleh rezim yang sangat pro dengan modal
asing.
Penyebab timbulnya disintegrasi
bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak adil dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki
potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah
tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat
kesejahteraan masyarakat yang tinggi.
Selain itu disintegrasi bangsa juga
dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa ini. Dalam kehidupan politik
sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun pimpinan
nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat
masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan,
kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik
secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat.
Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat
mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu
untuk bertindak yang menjurus kearah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar
kelompok atau golongan.
Faktor-faktor
Penyebab Disintegrasi Bangsa :
1. Geografi
Indonesia
yang terletak pada posisi silang dunia merupakan letak yang sangat strategis
untuk kepentingan lalu lintas perekonomian dunia selain itu juga memiliki
berbagai permasalahan yang sangat rawan terhadap timbulnya disintegrasi bangsa.
Dari ribuan pulau yang dihubungkan oleh laut memiliki karakteristik yang
berbeda-beda dengan kondisi alamnya yang juga sangat berbeda-beda pula
menyebabkan munculnya kerawanan sosial yang disebabkan oleh perbedaan daerah
misalnya daerah yang kaya akan sumber kekayaan alamnya dengan daerah yang
kering tidak memiliki kekayaan alam dimana sumber kehidupan sehari-hari hanya
disubsidi dari pemerintah dan daerah lain atau tergantung dari daerah lain.
2. Demografi
Jumlah
penduduk yang besar, penyebaran yang tidak merata, sempitnya lahan pertanian,
kualitas SDM yang rendah berkurangnya lapangan pekerjaan, telah mengakibatkan
semakin tingginya tingkat kemiskinankarena rendahnya tingkat pendapatan,
ditambah lagi mutu pendidikan yang masih rendah yang menyebabkan sulitnya
kemampuan bersaing dan mudah dipengaruhi oleh tokoh elit politik/intelektual
untuk mendukung kepentingan pribadi atau golongan.
3. Kekayaan
Alam
Kekayaan
alam Indonesia yang melimpah baik hayati maupun non hayati akan tetap menjadi
daya tarik tersendiri bagi negara Industri, walaupun belum secara keseluruhan
dapat digali dan di kembangkan secara optimal namun potensi ini perlu
didayagunakan dan dipelihara sebaik-baiknya untuk kepentingan pemberdayaan
masyarakat dalam peran sertanya secara berkeadilan guna mendukung kepentingan
perekonomian nasional.
4. Ideologi
Pancasila
merupakan alat pemersatu bangsa Indonesia dalam penghayatan dan pengamalannya
masih belum sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila, bahkan saat
ini sering diperdebatkan. Ideologi pancasila cenderung tergugah dengan
adanya kelompok-kelompok tertentu yang mengedepankan faham liberal atau
kebebasan tanpa batas, demikian pula faham keagamaan yang bersifat ekstrim baik
kiri maupun kanan.
5. Politik
Berbagai
masalah politik yang masih harus dipecahkan bersama oleh bangsa Indonesia saat
ini seperti diberlakukannya Otonomi daerah, sistem multi partai, pemisahan TNI
dengan Polri serta penghapusan dwi fungsi BRI, sampai saat ini masih menjadi
permasalahan yang belum dapat diselesaikan secara tuntas karena berbagai
masalah pokok inilah yang paling rawan dengan konflik sosial berkepanjangan
yang akhirnya dapat menyebabkan timbulnya disintegrasi bangsa.
6. Ekonomi
Sistem
perekonomian Indonesia yang masih mencari bentuk, yang dapat pemberdayakan
sebagian besar potensi sumber daya nasional, serta bentuk-bentuk kemitraan dan
kesejajaran yang diiringi dengan pemberantasan terhadap KKN. Hal ini
dihadapkan dengan krisis moneter yang berkepanjangan, rendahnya tingkat
pendapatan masyarakat dan meningkatnya tingkat pengangguran serta terbatasnya
lahan mata pencaharian yang layak.
7. Sosial
Budaya
Kemajemukan
bangsa Indonesia memiliki tingkat kepekaan yang tinggi dan dapat menimbulkan
konflik etnis kultural. Arus globalisasi yang mengandung berbagai nilai
dan budaya dapat melahirkan sikap pro dan kontra warga masyarakat yang terjadi
adalah konflik tata nilai. Konflik tata nilai akan membesar bila
masing-masing mempertahankan tata nilainya sendiri tanpa memperhatikan yang
lain.
8. Pertahanan
dan Keamanan
Bentuk
ancaman terhadap kedaulatan negara yang terjadi saat ini menjadi bersifat multi
dimensional yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, hal ini
seiring dengan perkembangan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, informasi dan
komunikasi. Serta sarana dan prasarana pendukung didalam pengamanan
bentuk ancaman yang bersifat multi dimensional yang bersumber dari permasalahan
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya.
2.2 Penampilan
Anggapan
Ada
beberapa anggapan mengenai permasalahan yang terjadi di wilayah papua, tetapi
dari beberapa anggapan yang ada, penulis menyajikan tanggapan dari sejumlah
mahasiswa dan sosiolog terlebih mengenai tanggapan mengapa permasalahan yang
sudah hampir terjadi dalam satu dekade ini tidak kunjung selesai terlebih malah
semakin rumit.
Tanggapan sosiolog, semua pihak di Indonesia
perlu mewaspadai strategi Organisasi Papua Merdeka memperalat masyarakat di
Provinsi Papua.
"Tujuan
mereka adalah dengan mengonstruksi konflik-konflik sosial, sehingga dunia
internasional menilai bahwa konflik yang terjadi di sana murni konflik
masyarakat Papua dengan pemerintah yang melakukan pelanggaran HAM, pemerintah
juga harus mengevaluasi kebijakan yang selama ini diterapkan untuk mencapai
keadilan dan kesejahteraan di Papua, yakni dengan lebih menggunakan
pendekatan-pendekatan yang berbasiskan kemanusiaan.
Jika dikaji,
kata dia, permasalahan di Provinsi Papua sebenarnya terjadi di beberapa wilayah
Indonesia, yakni masih tingginya tantangan untuk mencapai kesejahteraan
bersama.(Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina)
Mengenai tanggapan dari mahasiswa,
yaitu persoalan
pemberontakan yang terjadi di Papua harus diselesaikan dari awal masalah itu
terjadi. Penyelesaian harus dilakukan secara integral dan tidak selalu
mengedepankan aksi represif. Selain itu, proses penyelesaian masalah di Papua
yang terpadu tidak hanya dibebankan pada Kementerian Koordinator Politik Hukum
dan Keamanan. Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian
Kesejahteraan Rakyat juga harus terlibat.
2.3 Hasil yang Diharapkan
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi)
bangsa di tanah air dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian,
gelombang reformasi yang tengah berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan
realitas baru. Segala hal yang terkait dengan Orde Baru termasuk format
politik dan paradigmanya dihujat dan dibongkar. Bermunculan pula aliansi
ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik
baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah
tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas
atau merdeka yang dengan sendirinya makin menambah problem, manakala diwarnai
terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan segala permasalahannya.
Dari penjelasan di atas sangat
terlihat jelas bahwa pertikaian yang terjadi di papua tidak mudah di
selesaikan. Papua merupakan propinsi yang sangat banyak memliki kekayaan yang
berlimpah, salah satunya adalah tambang emas, perak yang ada disana, namun
bukan untu kita sebagai warga negara indonesia yang menikmatinya namun hanya
mendapatkan 40% yang kita dapatkan dan 60% lagi untuk PT.FreePort, begitulah
kenyataannya yang ada.
Jadi, semua masyarakat Indonesia
khususnya papua harus bersikap dengan sebagaimana mestinya, karena kita tidak
bisa merubah apa yang sudah di jalankan beberapa tahun belakang. Tidak dengan
baku tembak dengan warga sipil namun dengan menjaga dan mengawasi seluruh
masyarakat papua agar tidak terjadi perpecahan antara warga sipil dan
pemerintah.
BAB III
ANALISIS DAN
PENETAPAN METODE YANG DIGUNAKAN
Metode
Penelitian
3.1 Sample,
prosedur sampling
Dalam penulisan Karya Tulis ini,
metodologi penelitian yang digunakan adalah :
·
Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari
buku-buku yang berkaitan dengan penulisan karya tulis ini
·
Penjelajahan internet yaitu dengan mencari beberapa
informasi di mesin pencari yang tidak penulis tidak dapatkan dari buku-buku
BAB IV
PEMBAHASAN
PENGUMPULAN
dan PENYAJIAN DATA
4.1 Uraian
Secara Singkat
Kematian delapan
prajurit TNI dan empat warga sipil di Puncak Jaya cukup menggetarkan kita
semua. Bahkan dengan kejadian ini menunjukkan bahwa konflik di Papua masih
belum berakhir dan berlarut-larut, serta tidak ada titik temunya. Audit
Manajemen Keamanan di Papua sangat penting untuk memutus rentang antara
kuantitas prajurit dan kualitas prajurit tetap terjaga sehingga keamanannya
menjadi efektif. Pada masa yang akan datang, bagaimana menyelesaikan masalah
Papua secara menyeluruh atas dasar perdamaian abadi dan kemanusian yang adil
dan beradab, tentu tentu berpulang pada presiden sebagai kepala negara.Dalam
perspektif Komnas HAM, ada beberapa kerangka penyelesaian yang perlu dilakukan
:
1) penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Papua;
Peristiwa Wasior, Wamena, Abepura yang saat ini masih di ranah pemerintah.
2) Penyelidikan secara tuntas
pelanggaran HAM yang menjadi memori buruk bagi orang Papua, yakni Pembunuhan
Arnold Ap, Dr Thomas Wappay Wanggai, Mako Tabuni, dan peristiwa dom Papua.
3) Perhatian bagi tahanan politik dan
narapidana politik (tapol/napol) yang saat ini ada di berbagai lembaga
pemasyarakatan di Indonesia khususnya (kenyamanan, kesehatan, dan amnesti bagi
mereka);
4) TNI-Polri dan Kelompok Sipil
Bersenjata harus berdialog bersama agar konflik di antara mereka tidak merembes
ke masyarakat lokal yang tidak berdosa.
5) Perlunya dialog agar tercipta prakondisi
dengan kebijakan desekuritisasi sebelum dialog menyeluruh yang digagas oleh
berbagai Tokoh, baik Jakarta maupun Papua dilakukan.
Usaha-usaha
ini juga sedang disiapkan oleh Komnas HAM yang akan berkerja dalam kerangka
kerja Tim Penyelesaian masalah Papua. Oleh karena itu, diharapkan agar semua
pihak dapat berpartisipasi dalam penyelesaian masalah Papua ini.
Terdapat lima faktor
utama yang secara gradual bisa menjadi penyebab utama proses dari disintegrasi (perpecahan)
dalam suatu bangsa:
Pertams,
Krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama. Krisis di sektor ini selalu
merupakan faktor amat signifikan dalam mengawali lahirnya krisis yang lain
(politik-pemerintahan, hukum, dan sosial). Secara garis besar, krisis ekonomi
ditandai merosotnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan terpuruknya nilai
tukar, turunnya kemampuan produksi akibat naiknya biaya modal, dan terhambatnya
kegiatan perdagangan dan jasa akibat rendahnya daya saing. Muara dari semua ini
adalah tutupnya berbagai sektor usaha dan membesarnya jumlah penganggur dalam masyarakat.
Dalam
keadaan seperti ini, harapan satu-satunya adalah investasi melalui proyek-proyek
pemerint ah, misalnya, untuk pembangunan infrastruktur transportasi secara
besar-besaran sebagai upaya menampung tenaga kerja dan memutar roda ekonomi.
Namun,
ini memerlukan syarat adanya kepemimpinan nasional yang kreatif dan terpercaya
karena integritasnya, tersedianya cadangan dana pemerintah yang cukup, serta
bantuan teknis melalui komitmen internasional. Tanpa terobosan investasi baru,
krisis ekonomi akan berlanjut. Biasanya, krisis ekonomi yang berkepanjangan dan
tak teratasi akan menciptakan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan
antar-elite.
Mereka
akan berlomba untuk saling menyalahkan dan mencari kambing hitam. Pada saat
yang sama, krisis ekonomi akan memperlemah kemampuan negara untuk menutupi
berbagai ongko pengelolaan kekuasaan dan
pemeliharaan berbagai fasilitas umum.
Akibatnya,
akan terbentuk rasa tidak puas yang luas, baik dari mereka yang menjadi bagian
dari kekuasaan itu sendiri (pegawai negeri dan tentara/ polisi) maupun warga
masyarakat. Bila situasi ini tidak berhasil diatasi oleh mekanisme sistem
politik yang berlaku, maka krisis politik akan sulit dihindari.
Kedua,
krisi spolitik berupa perpecahan elite di tingkat nasional, sehingga
menyulitkan lahirnya kebijakan yang utuh dalam mengatasi krisis ekonomi. Krisis
politik juga bisa dilihat dari absennya kepemimpinan politik yang mampu
membangun solidaritas sosial untuk secara solid menghadapi krisis ekonomi.
Dalam situasi dimana perpecahan elite pusat makin meluas dan kepemimpinan
nasional makin tidak efektif, maka kemampuan pemerintah dalam memberi pelayanan
publik akan makin merosot. Akibatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
akan semakin menipis.
Keadaan
ini biasa menjadi pemicu lahirnya gerakan-gerakan massal anti-pemerintah yang
terorganisasi. Bila gerakan-gerakan itu menguat dan pada saat sama lahir
gerakan massa tandingan yang bersifat kontra terhadap satu sama lain-apalagi
jika terjadi bentrokan fisik yang intensif di antara mereka, atau antara massa
dengan aparat keamanan negara-maka perpecahan di antara top elite di pusat
kekuasaan makin tak terhindarkan. Jurang komunikasi akan makin lebar. Dalam
situasi di mana kebencian dan saling curiga antarkelompok sudah amat mengental,
tidak ada satu pihak pun yang memiliki legitimasi untuk memprakarsai upaya
rekonsiliasi.
Akibatnya,
jalan menuju rontoknya bangunan kekuasaan di tingkat pusat akan semakin
lempang. Perkembangan ini secara otomatik akan mendorong penguatan potensi
gerakan-gerakan separatisme. Gerakan ini bisa menguat dari wilayah yang sudah
sejak lama menyimpan bibit-bibit mikro nasionalisme, bisa juga dari wilayah
yang sama sekali tidak memiliki bibit itu, namun terdorong oleh kalkulasi logis
mereka ketika berhadapan dengan situasi yang bersifat fait a compli. Yang
terakhir ini merupakan kesadaran yang lahir secara kondisional dari para
pemimpin di wilayah-wilayah yang relatif jauh dari pusat kekuasaan berdasarkan
asumsi: daripada mengikuti pemerintahan yang sudah rontok di pusat, lebih baik kamimemisahkandiri.
Ketiga,
krisissosial dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada meletusnya
konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat (suku, agama, ras).
Jadi, di kala krisis ekonomi sudah semakin parah, yang akibatnya antara lain
terlihat melalui rontoknya berbagai sektor usaha, naiknya jumlah penganggur,
dan meroketnya harga berbagai produk, maka kriminalitas pun akan meningkat dan
berbagai ketegangan sosial menjadi sulit dihindari. Dalam situasi seperti ini,
hukum akan terancam supremasinya dan kohensi sosial terancam robek. Suasana
kebersamaan akan pupus dan rasa saling percaya akan terus menipis. Sebagai
gantinya, eksklusivisme, entah berdasar agama, ras, suku, atau kelas yang
dibumbui sikap saling curiga yang terus menyebar dalam hubungan antarkelompok.
Bila berbagai ketegangan ini tidak segera diatasi, maka eskalasi konflik
menjaditakterhindarkan.Disharmoni sosial pun dengan mudah akan menyebar. Modal
sosial berupa suasana saling percaya, yang merupakan landasan bagi eksistensi
sebuah masyarakat bangsa, perlahan-lahan akan hancur.
Keempat,
intervensi internasional yang bertujuan memecah belah, seraya mengambil keuntungan
dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya terhadap kebijakan politik dan
ekonomi negara-negara baru pascadisintegrasi. Intervensi itu bergerak dari yang
paling lunak, berupa pemberian advis yang membingungkan kepada pemerintah
nasional yang pada dasarnya sudah kehilangan arah; ke bentuk yang agak kenyal,
berupa provokasi terhadap kelompok-kelompok yang berkonflik; hingga yang paling
keras, berupa suplai kebutuhan material untuk memperkuat kelompok-kelompok yang
berkonflik itu. Proses intervensi terakhir ini amat mungkin terjadi saat
pemerintah nasional sudah benar-benar tak berdaya mengontrol lalu lintas
informasi, komunikasi, mobilitas sosial, serta transportasi darat, laut, dan
udara.Bila ini terjadi,maka jalan menuju disintegrasi semakin jelas, hanya
menunggu waktu sebelum menjadi kenyataan.
Kelima,
demoralisasi tentara dan polisi dalam bentuk pupusnya keyakinan mereka atas
makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai bhayangkari negara.
Demoralisasi itu, pada kadar yang rendah dipengaruhi oleh merosotnya nilai gaji yang mereka terima akibat krisis ekonomi.
Demoralisasi itu, pada kadar yang rendah dipengaruhi oleh merosotnya nilai gaji yang mereka terima akibat krisis ekonomi.
Kemerosotan
itu umumnya terjadi akibat inflasi. Tetapi dalam kasus tertentu hal itu
diakibatkan oleh kebijakan pemerintah untuk menurunkan gaji mereka atau
membayar kurang dari 100 persen dan sisanya menjadi utang pemerintah. Pada
tingkat tinggi, demoralisasi itu berupa hilangnya kepercayaan mereka terhadap
nilai pengabdian setelah mengalami tekanan-tekanan psikologis yang berat dalam
waktu lama akibat krisis politik yang akut.
Dalam
situasi seperti ini, tentara dan polisi yang seyogianya mencegah konflik sosial
malah bisa tergiring untuk mengambil bagian dalam konflik itu dengan berbagai
alasan. Secara teoretik, ketika negara tidak lagi memberi harga yang pantas
terhadap pengorbanan tentara dan polisi dalam menjaga integrasi bangsa, maka
tempat paling aman bagi segmen-segmen tertentu dari mereka adalah
kelompok-kelompok sosial di mana mereka bisa mengidentikkan dirinya.
Karena
itu, demoralisasi tentara dan polisi amat rawan terhadap perluasan dan
intensitas konflik sosial yang sedang terjadi. Keterlibatan yang luas dari
tentara dan polisi dalam konflik sosial akan mengkonversi konflik itu sendiri
menjadi perang saudara yang justru merupakan episode terakhir dari proses
disintegrasi bangsa dan keruntuhan sebuah negara.
BAB VI
KESIMPULAN dan SARAN
6.1 Ungkapan
Singkat Tentang Masalah
Komitmen
NKRI
Setiap negara pasti menginginkan
negaranya tetap utuh, tidak ada satu wilayah pun yang terlepas dari
kedaulatannya. Oleh karena itu jika ada konflik yang mengancam persatuan bangsa
harus ditangani dengan baik. Untuk mencegah terjadinya disintegrasi bangsa
sebagai akibat dari konflik Papua, pemerintah melakukan berbagai tindakan yang
oleh tim LIPI diidentifikasikan menjadi empat agenda utama dan pilihan
kebijakan atau agenda yang dapat dilakukan oleh lembaga negara dan masyarakat
sipil dalam dan luar negeri. Keempat agenda untuk menyelesaikan konflik ini
adalah :
1. Pengakuan
Untuk masyarakat asli Papua,
pengakuan adalah istilah yang menggambarkan sebuah proses sosial dimana konsep
Papua dan identitas orang Papua menggambarkan isu utama yang menjadi tujuan
mereka. Hal ini termasuk sebuah strategi sosial afirmasi positif yang bertujuan
untuk membantu masyarakat asli Papua untuk melindungi sumber daya mereka
sehingga masyarakat asli Papua berada dalam posisi untuk bernegosiasi dan memiliki
sumber daya yang diperlukan untuk dinegosiasikan dalam kesiapan untuk perubahan
sosial yang cepat sambil menikmati keuntungan bagi kehidupan dan kesejahteraan
mereka. Dari perspektif budaya, pengakuan yang diberikan kepada masyarakat asli
Papua merupakan faktor penting untuk membuat masyarakat asli Papua merasa bahwa
mereka memiliki area sendiri di antara keberagaman budaya Indonesia
2. Paradigma baru pembangunan
Sebuah paradigma baru untuk
pembangunan di Papua diperlukan untukmemperkuat kebijakan pengakuan terhadap
masyarakat asli Papua dalam arti meningkatkan kualitas hidup masyarakat asli
Papua ke tingkat warga negara Indonesia seperti masyarakat lainnya. Program
pembangunan harus dapat memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak orang Papua dalam
kesejahteraan pendidikan, kesehatan dan ekonomi karena walaupun Otonomi Khusus
telah berlaku selama lebih dari lima tahun di Papua, tetapi gagal membawa
perubahan yang signifikan. Program pembangunan yang berjalan sangat lambat
terutama di empat sektor yang telah diprioritaskan oleh pemerintah pusat.
Itulah sebabnya agenda ini sangat penting bagi proses penghentian konflik di
Papua.
3. Dialog
Hubungan antara pemerintah pusat
(Jakarta) dan masyarakat asli Papua diblokir oleh ‘tembok tinggi’ dari
konstruksi politik yang berbeda tentang sejarah dan status politik Papua.
Konstruksi yang berbeda antara nasionalisme Indonesia dan nasionalisme Papua
tidak pernah dibahas dan stigma serta ketidakpercayaan antara kedua belah pihak
telah mendalam. Dalam sejumlah kasus, ketidakpercayaan antara elemen negara di
satu pihak dan masyarakat sipil di Jakarta dan di Papua, maupun di dalam
masyarakat Papua itu sendiri cenderung meningkat. Oleh karena itu dialog harus
dijalankan dalam arti yang sebenarnya. Dialog harus dipahami sebagai sebuah
kerangka untuk mencapai sebuah kesepakatan.
4. Rekonsiliasi
Ada tiga alasan mengapa rekonsiliasi
menjadi sangat penting unutk dilakukan. Yang pertama adalah tuntutan untuk
merdeka dari Indonesia dipandang sebagai ancaman terhadap integritas wilayah
Republik Indonesia. Kedua, polarisasi dalam masyarakat asli Papua antara mereka
yang setia terhadap pemerintah pusat dengan mereka yang menuntut kemerdekaan.
Alasan ketiga adalah adanya trauma akibat konflik yang berkepanjangan.
Interrelationship
Pelaksaan empat agenda penyelesaian
konflik tersebut haruslah melibatkan elemen-elemen bangsa untuk
mengoptimalkannya. Hal ini sejalan dengan wawasan nusantara yang menjadi
pedoman Indonesia dalam menjaga keutuhan kedaulatannya. Keterlibatan
elemen-elemen bangsa ini disebut dengan interrelationship. Sesuai dengan
Undang-Undang No 3 Tahun 2002 tentang Ketentuan Umum Pertahanan Negara maka Interrelationship
dalam Sistem Pertahanan Negara adalah hubungan antara komponen-komponen yang
terlibat (warga Negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya) untuk
menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa
dari segala ancaman.
Dalam konflik Papua, penanganannya bisa dimulai dari
setiap lapisan suku. Dengan pendekatan yang baik dari pemerintah yang
bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat kepada setiap lapisan suku
tersebut, akan lebih mudah untuk menjaga kestabilan keamanan dan membantu
komunikasi antar kelompok masyarakat sehingga konflik pun dapat diminimalisir.
Selain itu, dalam kasus Papua,
pemerintah Indonesia juga melakukan berbagai usaha penghentian konflik mulai
dari negosiasi sampai pada pemberian otonomi khusus melalui Undang-Undang No.
21 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang
dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati.
Berdasarkan hal-hal tersebut,
pemberian otonomi khusus identik dengan penyerahan kekuasaan secara penuh kepada
masyarakat Papua, kecuali 5 bidang pemerintahan yang tetap menjadi tanggung
jawab pemerintah pusat. Hal ini tercantum pada Pasal 4 ayat 1 UU No 21 Tahun
2001. Program pokok dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua adalah pemerintah
Provinsi harus mengambil kebijakan sebagai berikut:
- Kebijakan dan aksi keberpihakan (affirmative policy and action) terhadap masyarakat asli Papua.
- Kebijakan dan aksi perlindungan (protetive policy and action) terhadap masyarakat asli Papua.
- Kebijakan dan aksi pemberdayaan (empowermental policy and action) terhadap masyarakat asli Papua.
Inti dari ketiga bidang kebijakan
tersebut adalah penetapan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan
Daerah Provinsi (Perdasi) substansial untuk mewujudkan keberpihakan,
perlindungan, dan pemberdayaan terhadap masyarakat asli Papua. Hal ini untuk
menumbuhkan rasa bahwa masyarakat Papua juga diakui oleh Indonesia.
Walaupun otonomi khusus tidak
berjalan dengan sebagaimana mestinya, tetapi muncul keinginan dari berbagai
pihak untuk dapat memperbaiki kondisi di Papua dengan melibatkan elemen-elemen
warga negara yang berhubungan dengan hal tersebut. Sumber daya yang berasal
dari wilayah Papua juga di manfaatkan untuk perdamaian sehingga mampu meredam
keinginan untuk merdeka dan mewujudkan pertahanan negara.
Kerjasama Pertahanan
Mewujudkan sistem pertahanan negara
di Papua bukanlah hal yang mudah. Geografis wilayah yang luas dan sulit
dijangkau membuat upaya menjaga keamanan menjadi lebih sulit. Selain itu,
beragamnya tradisi yang ada disana juga membuat cara-cara membangun pertahanan
harus dilakukan dengan cara yang berbeda-beda pula.
Sistem Petahanan Negara Indonesia
secara implisit membagi hubungan tersebut dalam tiga tingkatan yaitu global,
regional, dan nasional. Semua tingkatan tersebut menganut paham kesetaraan.
Pada tingkat global, sistem pertahanan Indonesia ikut aktif dalam organisasi
perserikatan bangsa-bangsa kerjasama internasional lainnya. Pada tingkatan
regional, sistem pertahanan Indonesia melakukan kerjasama dengan negara-negara
di ASEAN. Pada tingkatan nasional, sistem pertahanan Indonesia yang bercirikan
kerakyatan, kesemestaan, dan kewilayahan menganggap bahwa seluruh wilayah dalam
NKRI berkedudukan sejajar dan oleh karenanya penyelesaian konflik di kedepankan
melalui dialog, kerjasama, dan pendekatan persuasif.
Selain dengan interrelationship yang
melibatkan elemen-elemen bangsa, untuk menangani hal tersebut, pemerintah juga
harus mengadakan kerjasama pertahanan dengan pihak internasional. Melalui
berbagai forum internasional, Indonesia menggalang dukungan untuk penyelesaian
konflik Papua dan mencegah disintegrasi bangsa. Indonesia menggandeng
negara-negara tetangga seperti Australia dan Papua Nugini untuk dapat membantu
menangani masalah ini.
Tulisan ini merekomendasikan untuk
(1) menjalankan empat agenda penyelesaian konflik yang telah disusun, yaitu
dengan memberikan pengakuan kepada masyarakat asli Papua, membuat sistem
pembangunan yang baru, mangadakan dialog yang tepat, dan membuat sebuah
rekonsiliasi. (2) melibatkan elemen-elemen bangsa untuk membantu penyelesaian
konflik. Misalnya dengan memberdayakan LSM untuk dapat masuk ke dalam
masyarakat dan menjadi komunikator disana. (3) menjaga agar konflik yang
terjadi dapat ditekan dan tidak meluas.
Apabila langkah-langkah tersebut di
atas berhasil dilakukan maka pertahanan negara Indonesia terwujud dan keinginan
Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia dapat dihentikan sehingga persatuan
kedaulatan NKRI tetap terjaga. Namun, pemerintah bersama-sama dengan elemen
masyarakat harus tetap mmampu menjaga perdamaian yang berhasil diraih supaya
tidak terjadi lagi konflik di Papua.
6.2 Kesimpulan
.
Hasil penelitian menunjukkan dibutuhkan penyelesaian :
1) secara hukum dengan pengimplementasian Otsus, upaya
penyelesaian dan pencegahan pelanggaran hak asasi manusia
2) penyelesaian masalah politik
3) penyelesaian masalah ekonomi
4) penyelesaian masalah identitas kultural
perbedaan persepsi tentang sejarah politik Papua yang
menimbulkan pelanggaran HAM, perbedaan persepsi pihak masyarakat Papua yang
tidak diselesaikan secara demokratis yang menimbulkan pemahaman tentang
identitas kultural yang berbeda dengan identitas kultural masyarakat Indonesia.
Upaya pemerintah dengan pemberlakukan otsus belum mampu mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
6.3 Saran
Perlunya dialog pusat dan daerah dan antar masyarakat
Papua, penyelesaian pelangaran HAM berat, penguatan otsus dan pencabutan
peraturan perundang-undangan yang menghambat kewenangan pemerintah dalam
menjalankan otsus, dan menghindari penggunaan hukum pidana untuk menanggapi
aktivitas-aktivitas politik damai.
DAFTAR PUSTAKA
Djumharjinis, 2012, pendidikan
pancasila, demokrasi dan HAM, widya, Jakarta