Selasa, 14 Mei 2013

Upaya Perdamaian Melalui Sistem Pertahanan Negara Untuk Mencegah Disintegrasi Bangsa di Papua


Upaya Perdamaian Melalui Sistem Pertahanan Negara
Untuk Mencegah Disintegrasi Bangsa di Papua



Oleh : DILLA DELIMA
19211441
2EA03




FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013



Upaya Perdamaian Melalui Sistem Pertahanan Negara
Untuk Mencegah Disintegrasi Bangsa di Papua



DILLA DELIMA
19211441
2EA03


Karya Tulis
Sebagai salah satu syarat yang diajukan untuk memenuhi syarat program studi Pendidikan studi Kewarganegaraan

FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013



KATA PENGHARGAAN
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah dan rahmat-NYA penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Yang merupakan syarat guna memenuhi tugas program studi pendidikan kewarganegaraan. Selama makalah ini dibuat penulis banyak menerima motivasi, bantuan, serta dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1.      Drs. Djumharjinis selaku dosen pembimbing yang telah memberi tugas dan bersedia meluangkan waktu serta pikirannya untuk memberikan arahan, kritik, serta saran motivasi bagi penulis untuk melakukan penyelesaian makalah ini.
2.      Orang tua yang telah membesarkan dan memberi motivasi terbesar untuk terus belajar dan bersemangat demi mencapai cita-cita, dan doa selama ini.
3.      Teman-teman kelas yang memberikan kebersamaan terlebih memberikan catatan-catatan kecil dalam penyelesaian tugas makalah ini, dan juga semangat yang selalu diberikan untuk menyelesaikan makalah ini.


Depok,  Maret 2013

Penulis






i

DAFTAR ISI

Kata Penghargaan        ………………………………………………………...              i
DAFTAR ISI    …………………………………………………………………              ii
BAB I PENDAHULUAN         ……………………………………….............               1
Latar Belakang             ………………………………………………………...              1
1.1 Penegasan Mengenai Judul                        ……………………………………….               3
1.2 Alasan Pemilihan Judul                 ……………………………………….               4
1.3 Tujuan Research yang Diselenggarakan     ………………………………               5
BAB II ANALISIS LANDASAN TEORI         ………………………………               6
2.1 Analisis Hasil-hasil                        ……………………………………………….                6
2.2 Penampilan Anggapan       ……………………………………………….                10
2.3 Hasil yang Diharapkan      ……………………………………………….                11
BAB III ANALISIS dan PENETAPAN ETODE YANG DIGUNAKAN           …….                12
Metode Penelitian        ………………………………………………………..               12
3.1 Sample, Prosedur Sampling                       ……………………………………….               12
BAB IV PEMBAHSAN                       ………………………………………………..               13
4.1 Uraian Secara Singkat        ………………………………………………..               13
BAB VI KESIMPULAN dan SARAN              ………………………………               18
6.1 Ungkapan Singkat Tentang Masalah                      ………………………………               18
6.2 Kesimpulan                       ………………………………………………………..               23
6.3 Saran                     ………………………………………………………..               24
DAFTAR PUSTAKA   ………………………………………………………..               25       
  


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak merdeka negara Indonesia tidak luput dari gejolak dan ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup negara. Tetapi bangsa Indonesia mampu mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya dari agresi Belanda dan mampu menegakan wibawa pemerintahan dari gerakan separatis.
Ditinjau dari geopolitik dan geostrategi dengan posisi geografis, sumber daya alam dan jumlah serta kemampuan penduduk telah menempatkan Indonesia menjadi ajang persaingan kepentingan dan perebutan pengaruh antara negara besar. Hal ink secara langsung meupun tidak memberikan dampak negatif terhadap segenap aspek kehidupan sehingga dapat mempengaruhi dan membahayakan kelangsungan hidup dan ekstitensi NKRI. Untuk itu Indonesia harus memiliki keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional sehingga berhasil mengatasi setiap bentuk tantangan  dan gangguan dari manapun datangnya.
Dalam sejarah perpolitikan dunia, banyak terjadi konflik internal yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Fenomena konflik internal ini banyak terjadi di negara-negara yang memiliki keberagaman SARA. Konflik internal sendiri semakin menjadi sorotan setelah berakhirnya Perang Dingin dan menghangatnya isu nasionalisme di berbagai wilayah di negara-negara Eropa Tengah, Eropa Timur, Afrika hingga Asia, termasuk Indonesia. Di wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, salah satu konflik internal yang telah terjadi sejak lama adalah konflik Papua. Konflik ini berkembang dengan isu yang semakin meluas yang kemudian membawa kepada munculnya keinginan untuk disintegrasi.
Mencari jalan keluar untuk konflik Papua harus tetap melihat faktor historisnya. Mulai dari proses dekolonisasi Papua (Belanda Nugini), Tindakan Pemilihan Bebas (Pepera) pada tahun 1969, kebijakan Orde Baru (1967-1998), dan dinamika politik selama periode transisi menuju demokrasi hingga hari ini, serta periode otonomi khusus. Namun, upaya-upaya untuk merangkul Papua secara penuh dengan memberikan otonomi khusus juga tidak mampu meredam konflik di provinsi paling timur Indonesia itu. Konflik tersebut tetap membawa pada keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI.
Menurut Viva Ona Bartkus, pemisahan diri adalah sebuah penarikan diri secara resmi dari sebuah negara yang telah diakui oleh dunia internasional, melalui satuan konstituante untuk menciptakan sebuah negara berdaulat yang baru. Hal ini yang hingga kini diperjuangkan oleh  Papua. Masyarakat Papua melakukan perjuangan atas nilai-nilai, status, kekuatan, dan keinginan untuk mengelola hasil sumber daya mereka sendiri sehingga bisa dirasakan oleh seluruh rakyat Papua.












  
1.1  Penegasan Mengenai Judul

Dalam makalah ini penulis mengangkat judul upaya perdamaian bangsa di papua untuk mencegah disintegrasi melalui sistem pertahanan negara. Mengapa? Karena persoalan disintegrasi yang terjadi di papua sudah sangat lama dan perlu benar-benar utnuk di tindak lanjuti apa yang harus dilakukan dan upaya apa yang tepat untuk meredam konflik yang terjadii selama hampir satu dekade ini.

Sistem pertahanan suatu negara merupakan suatu sitem yang mengatur bangsa yang terdiri atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam mapun luar, secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka mewujudkan tujuan perjuangan nasional.
Sebuah perdamaian adalah hak dari seluruh bangsa yang diinginkan, namun hal tersebut tidak bisa dirasakan begitu saja apabila masih ada sebuah daerah yang merasa dan ingin keluar dari wilayah NKRI.  proses penanganan konflik Papua memang tidak menutup kemungkinan melibatkan TNI. Tetapi,  pelibatan itu harus sesuai ketentuan dalam memberdayakan TNI gangguan keamanan selain perang. "Perbantuan itu sifatnya harus dan semestinya harus didasarkan pada putusan presiden sesuai Pasal 7 ayat 3 Undang-undang (UU) TNI, sesuai persetujuan atau legitimasi politik.









1.2  Alasan Pemilihan Judul
Upaya perdamaian bangsa di papua untuk mencegah disintegrasi melalui sistem pertahanan negara merupakan suatu permasalahan yang sangat sensitif dan amat penting bagi keutuhan wilayah NKRI. Karena apabila sampai keluarnya wilayah papua dari kedaulatan NKRI maka akan berkurang kembali pulau yang ada di Indonesia, dan semakin sedikit pula masyarakat serta sumber kekayaan alam yang kita miliki, maka dari hal tersebut kita harus segera menyelesaikan masalah yang terjadi.
Pemerintah daerah pun tidak mampu dalam menangani masalah yang berada di wilayahnya, perlu hal yang benar-benar membuat masyarakat papua yakin bahwa mereka akan lebih baik berada dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia. Dalam  Pasal 30 ayat ( 1 ) yang berisi tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Hal tersebut menjelaskan bahwa  seluruh masyarakat Indonesia berhak wajib melindungi wilayah persatuan dengan bersama-sama membangun pertahanan negara. Dengan tidak melupakan hal-hal yang sudah tercantum dalam UU nomor 3 tahun 2002.
Pemerintah harus berkomunikasi dengan baik dan konsisten dalam membuat kebijakan di daerah papua, melakukan pendekatan-pendekatan secara kultural. Dengan mencontoh dari mantan presiden alm KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah melalui pendekatan kultural, dan dampaknya sangat positif bagi NKRI.
"Bayangkan Gus Dur begitu sampai di Bandara Cenderawasih langsung ziarah ke makam Theis H Eluway (Ketua Persedium Dewan Papua - PDP), itu sama dengan menghormati tokoh adat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya tidak perlu merasa takut berdialog dengan masyarakat papua.

Demikianlah alasan nengapa penulis mengangkat tema upaya perdamaian melalui sistem pertahanan negara untuk mencegah disintegrasi bangsa papua, agar wilayah NKRI tidak ada yang berkurang dan Indonesia menjadi negara kesatuan yang utuh dan sejahtera. sudah dibuat ini bisa dijadikan dengan sebagaimana mestinya.





1.3  Tujuan Research Yang Diselenggarakan

Tujuan Umum
Tujuan diadakannya penelitian ini yaitu :
1.      Bagaimana cara terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di papua selama satu dekade ini
2.      Faktor-faktor yang membuat disintegrasi dalam suatu negara

Tujuan Khusus
Menyelesaikan tugas mata kuliah Kewarganegaraan tentang upaya perdamaian bangsa di papua untuk mencegah disintegrasi melalui sistem pertahanan negara













BAB II
ANALISIS LANDASAN TEORI
2.1  Analisis Hasil-hasil
Sehubungan mengenai analisis upaya perdamaian bangsa di papua untuk mencegah disintegrasi melalui sistem pertahanan negara adalah membicarakan mengenai pengertian dari sistem pertahanan negara, penyebab timbulnya disintegrasi, dan bagaimana cara mencegah disintegrasi dalam suatu negara. Kita analisis terlebih dahulu pengertian dari sistem pertahanan negara.
Pertahanan Negara adalah segala usaha  untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara, disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagainegara kepulauan(UU 34/2004, Pasal 1 ayat 5). Pertahanan negara merupakan upaya utama untuk mewujudkan salah satu tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Mengenai masalah yang terjadi dalam perdamaian di daerah papua membuat sebagian pemerintah khawatir akan kelangsungan hidup masyarakat sekitar disana, karena dengan terjadinya konflik biasanya mereka memblokir kawasan-kawasan arena dan daerah tertentu sehingga kebutuhan pokok tidak bisa masuk ke wilayah tersebut sehingga tidak sedikit masyarakat terutama anak – anak dan perempuan yang kekurangan bahan kebutuhan pokok.
Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi. Ditandai munculnya gerakan yang menurut pemerintah adalah gerakan separatis di Papua melalui OPM ( Organisasi Papua Merdeka ), Aceh dengan Gam ( Gerakan Aceh Merdeka ) serta banyaknya gerakan yang berupaya melepaskan diri dari wilayah kesatuan NKRI dan juga gerakan ini adalah sebuah bentuk bahwa sebenarnya Indonesia ternyata belum mampu  memberikan kesadaran politik serta belum adanya sebuah upaya serius untuk membenahi ketimpangan antara daerah yang kaya dengan daerah yang miskin. Gerakan semacam ini di Negara dianggap sebagai gerakan yang murni ingin memisahkan diri kita berpandangan secara sosiologis gerakan ini adalah gerakan hati nurani rakyat yang masih di tindas oleh rezim yang sangat pro dengan modal asing.
Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.
Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa ini.  Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama.  Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat.  Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus kearah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan.
Faktor-faktor Penyebab Disintegrasi Bangsa :
1.      Geografi
Indonesia yang terletak pada posisi silang dunia merupakan letak yang sangat strategis untuk kepentingan lalu lintas perekonomian dunia selain itu juga  memiliki berbagai permasalahan yang sangat rawan terhadap timbulnya disintegrasi bangsa. Dari ribuan pulau yang dihubungkan oleh laut memiliki karakteristik yang berbeda-beda dengan kondisi alamnya yang juga sangat berbeda-beda pula menyebabkan munculnya kerawanan sosial yang disebabkan oleh perbedaan daerah misalnya daerah yang kaya akan sumber kekayaan alamnya dengan daerah yang kering tidak memiliki kekayaan alam dimana sumber kehidupan sehari-hari hanya disubsidi dari pemerintah dan daerah lain atau tergantung dari daerah lain.
2.      Demografi
Jumlah penduduk yang besar, penyebaran yang tidak merata, sempitnya lahan pertanian, kualitas SDM yang rendah berkurangnya lapangan pekerjaan, telah mengakibatkan semakin tingginya tingkat kemiskinankarena rendahnya tingkat pendapatan, ditambah lagi mutu pendidikan yang masih rendah yang menyebabkan sulitnya kemampuan bersaing dan mudah dipengaruhi oleh tokoh elit politik/intelektual untuk mendukung kepentingan pribadi atau golongan.
3.      Kekayaan Alam
Kekayaan alam Indonesia yang melimpah baik hayati maupun non hayati akan tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi negara Industri, walaupun belum secara keseluruhan dapat digali dan di kembangkan secara optimal namun  potensi ini perlu didayagunakan dan dipelihara sebaik-baiknya untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat dalam peran sertanya secara berkeadilan guna mendukung kepentingan perekonomian nasional.
4.      Ideologi
Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa Indonesia dalam penghayatan dan pengamalannya masih belum sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila, bahkan saat ini sering diperdebatkan.  Ideologi pancasila cenderung tergugah dengan adanya kelompok-kelompok tertentu yang mengedepankan faham liberal atau kebebasan tanpa batas, demikian pula faham keagamaan yang bersifat ekstrim baik kiri maupun kanan.
5.      Politik
Berbagai masalah politik yang masih harus dipecahkan bersama oleh bangsa Indonesia saat ini seperti diberlakukannya Otonomi daerah, sistem multi partai, pemisahan TNI dengan Polri serta penghapusan dwi fungsi BRI, sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang belum dapat diselesaikan secara tuntas karena berbagai masalah pokok inilah yang paling rawan dengan konflik sosial berkepanjangan yang akhirnya dapat menyebabkan timbulnya disintegrasi bangsa.
6.      Ekonomi
Sistem perekonomian Indonesia yang masih mencari bentuk, yang dapat pemberdayakan sebagian besar potensi sumber daya nasional, serta bentuk-bentuk kemitraan dan kesejajaran yang diiringi dengan pemberantasan terhadap KKN.  Hal ini dihadapkan dengan krisis moneter yang berkepanjangan, rendahnya tingkat pendapatan masyarakat dan meningkatnya tingkat pengangguran serta terbatasnya lahan mata pencaharian yang layak.
7.      Sosial Budaya
Kemajemukan bangsa Indonesia memiliki tingkat kepekaan yang tinggi dan dapat menimbulkan konflik etnis kultural.  Arus globalisasi yang mengandung berbagai nilai dan budaya dapat melahirkan sikap pro dan kontra warga masyarakat yang terjadi adalah konflik tata nilai.  Konflik tata nilai akan membesar bila masing-masing mempertahankan tata nilainya sendiri tanpa memperhatikan yang lain.

8.      Pertahanan dan Keamanan
Bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara yang terjadi saat ini menjadi bersifat multi dimensional yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, hal ini seiring dengan perkembangan  kemajuan  ilmu  pengetahuan   dan   teknologi,   informasi dan komunikasi. Serta sarana dan prasarana pendukung didalam pengamanan   bentuk ancaman yang bersifat multi dimensional yang bersumber dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya.
















2.2  Penampilan Anggapan
Ada beberapa anggapan mengenai permasalahan yang terjadi di wilayah papua, tetapi dari beberapa anggapan yang ada, penulis menyajikan tanggapan dari sejumlah mahasiswa dan sosiolog terlebih mengenai tanggapan mengapa permasalahan yang sudah hampir terjadi dalam satu dekade ini tidak kunjung selesai terlebih malah semakin rumit.
Tanggapan sosiolog, semua pihak di Indonesia perlu mewaspadai strategi Organisasi Papua Merdeka memperalat masyarakat di Provinsi Papua.
"Tujuan mereka adalah dengan mengonstruksi konflik-konflik sosial, sehingga dunia internasional menilai bahwa konflik yang terjadi di sana murni konflik masyarakat Papua dengan pemerintah yang melakukan pelanggaran HAM, pemerintah juga harus mengevaluasi kebijakan yang selama ini diterapkan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan di Papua, yakni dengan lebih menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbasiskan kemanusiaan.
Jika dikaji, kata dia, permasalahan di Provinsi Papua sebenarnya terjadi di beberapa wilayah Indonesia, yakni masih tingginya tantangan untuk mencapai kesejahteraan bersama.(Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina)
Mengenai tanggapan dari mahasiswa, yaitu persoalan pemberontakan yang terjadi di Papua harus diselesaikan dari awal masalah itu terjadi. Penyelesaian harus dilakukan secara integral dan tidak selalu mengedepankan aksi represif. Selain itu, proses penyelesaian masalah di Papua yang terpadu tidak hanya dibebankan pada Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Kesejahteraan Rakyat juga harus terlibat.





2.3  Hasil yang Diharapkan
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang reformasi yang tengah berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas baru.  Segala hal yang terkait dengan Orde Baru termasuk format politik dan paradigmanya dihujat dan dibongkar. Bermunculan pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik baru.  Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka yang dengan sendirinya makin menambah problem, manakala diwarnai terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan segala permasalahannya.

Dari penjelasan di atas sangat terlihat jelas bahwa pertikaian yang terjadi di papua tidak mudah di selesaikan. Papua merupakan propinsi yang sangat banyak memliki kekayaan yang berlimpah, salah satunya adalah tambang emas, perak yang ada disana, namun bukan untu kita sebagai warga negara indonesia yang menikmatinya namun hanya mendapatkan 40% yang kita dapatkan dan 60% lagi untuk PT.FreePort, begitulah kenyataannya yang ada.

Jadi, semua masyarakat Indonesia khususnya papua harus bersikap dengan sebagaimana mestinya, karena kita tidak bisa merubah apa yang sudah di jalankan beberapa tahun belakang. Tidak dengan baku tembak dengan warga sipil namun dengan menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat papua agar tidak terjadi perpecahan antara warga sipil dan pemerintah.











BAB III
ANALISIS DAN PENETAPAN METODE YANG DIGUNAKAN
Metode Penelitian

3.1 Sample, prosedur sampling
Dalam penulisan Karya Tulis ini, metodologi penelitian yang digunakan adalah :
·         Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan dengan penulisan karya tulis ini
·         Penjelajahan internet yaitu dengan mencari beberapa informasi di mesin pencari yang tidak penulis tidak dapatkan dari buku-buku























BAB IV
PEMBAHASAN
PENGUMPULAN dan PENYAJIAN DATA

4.1 Uraian Secara Singkat
Kematian delapan prajurit TNI dan empat warga sipil di Puncak Jaya cukup menggetarkan kita semua. Bahkan dengan kejadian ini menunjukkan bahwa konflik di Papua masih belum berakhir dan berlarut-larut, serta tidak ada titik temunya. Audit Manajemen Keamanan di Papua sangat penting untuk memutus rentang antara kuantitas prajurit dan kualitas prajurit tetap terjaga sehingga keamanannya menjadi efektif. Pada masa yang akan datang, bagaimana menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh atas dasar perdamaian abadi dan kemanusian yang adil dan beradab, tentu tentu berpulang pada presiden sebagai kepala negara.Dalam perspektif Komnas HAM, ada beberapa kerangka penyelesaian yang perlu dilakukan :
1) penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Papua; Peristiwa Wasior, Wamena, Abepura yang saat ini masih di ranah pemerintah.
2) Penyelidikan secara tuntas pelanggaran HAM yang menjadi memori buruk bagi orang Papua, yakni Pembunuhan Arnold Ap, Dr Thomas Wappay Wanggai, Mako Tabuni, dan peristiwa dom Papua.
 3) Perhatian bagi tahanan politik dan narapidana politik (tapol/napol) yang saat ini ada di berbagai lembaga pemasyarakatan di Indonesia khususnya (kenyamanan, kesehatan, dan amnesti bagi mereka);
4) TNI-Polri dan Kelompok Sipil Bersenjata harus berdialog bersama agar konflik di antara mereka tidak merembes ke masyarakat lokal yang tidak berdosa.
 5) Perlunya dialog agar tercipta prakondisi dengan kebijakan desekuritisasi sebelum dialog menyeluruh yang digagas oleh berbagai Tokoh, baik Jakarta maupun Papua dilakukan.
Usaha-usaha ini juga sedang disiapkan oleh Komnas HAM yang akan berkerja dalam kerangka kerja Tim Penyelesaian masalah Papua. Oleh karena itu, diharapkan agar semua pihak dapat berpartisipasi dalam penyelesaian masalah Papua ini.
Terdapat lima faktor utama yang secara gradual bisa menjadi penyebab utama proses dari disintegrasi (perpecahan) dalam suatu bangsa:
Pertams, Krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama. Krisis di sektor ini selalu merupakan faktor amat signifikan dalam mengawali lahirnya krisis yang lain (politik-pemerintahan, hukum, dan sosial). Secara garis besar, krisis ekonomi ditandai merosotnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan terpuruknya nilai tukar, turunnya kemampuan produksi akibat naiknya biaya modal, dan terhambatnya kegiatan perdagangan dan jasa akibat rendahnya daya saing. Muara dari semua ini adalah tutupnya berbagai sektor usaha dan membesarnya jumlah penganggur dalam masyarakat.
Dalam keadaan seperti ini, harapan satu-satunya adalah investasi melalui proyek-proyek pemerint ah, misalnya, untuk pembangunan infrastruktur transportasi secara besar-besaran sebagai upaya menampung tenaga kerja dan memutar roda ekonomi.
Namun, ini memerlukan syarat adanya kepemimpinan nasional yang kreatif dan terpercaya karena integritasnya, tersedianya cadangan dana pemerintah yang cukup, serta bantuan teknis melalui komitmen internasional. Tanpa terobosan investasi baru, krisis ekonomi akan berlanjut. Biasanya, krisis ekonomi yang berkepanjangan dan tak teratasi akan menciptakan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan antar-elite.
Mereka akan berlomba untuk saling menyalahkan dan mencari kambing hitam. Pada saat yang sama, krisis ekonomi akan memperlemah kemampuan negara untuk menutupi berbagai ongko pengelolaan  kekuasaan dan pemeliharaan berbagai fasilitas umum.
Akibatnya, akan terbentuk rasa tidak puas yang luas, baik dari mereka yang menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri (pegawai negeri dan tentara/ polisi) maupun warga masyarakat. Bila situasi ini tidak berhasil diatasi oleh mekanisme sistem politik yang berlaku, maka krisis politik akan sulit dihindari.
Kedua, krisi spolitik berupa perpecahan elite di tingkat nasional, sehingga menyulitkan lahirnya kebijakan yang utuh dalam mengatasi krisis ekonomi. Krisis politik juga bisa dilihat dari absennya kepemimpinan politik yang mampu membangun solidaritas sosial untuk secara solid menghadapi krisis ekonomi. Dalam situasi dimana perpecahan elite pusat makin meluas dan kepemimpinan nasional makin tidak efektif, maka kemampuan pemerintah dalam memberi pelayanan publik akan makin merosot. Akibatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan semakin menipis.
Keadaan ini biasa menjadi pemicu lahirnya gerakan-gerakan massal anti-pemerintah yang terorganisasi. Bila gerakan-gerakan itu menguat dan pada saat sama lahir gerakan massa tandingan yang bersifat kontra terhadap satu sama lain-apalagi jika terjadi bentrokan fisik yang intensif di antara mereka, atau antara massa dengan aparat keamanan negara-maka perpecahan di antara top elite di pusat kekuasaan makin tak terhindarkan. Jurang komunikasi akan makin lebar. Dalam situasi di mana kebencian dan saling curiga antarkelompok sudah amat mengental, tidak ada satu pihak pun yang memiliki legitimasi untuk memprakarsai upaya rekonsiliasi.
Akibatnya, jalan menuju rontoknya bangunan kekuasaan di tingkat pusat akan semakin lempang. Perkembangan ini secara otomatik akan mendorong penguatan potensi gerakan-gerakan separatisme. Gerakan ini bisa menguat dari wilayah yang sudah sejak lama menyimpan bibit-bibit mikro nasionalisme, bisa juga dari wilayah yang sama sekali tidak memiliki bibit itu, namun terdorong oleh kalkulasi logis mereka ketika berhadapan dengan situasi yang bersifat fait a compli. Yang terakhir ini merupakan kesadaran yang lahir secara kondisional dari para pemimpin di wilayah-wilayah yang relatif jauh dari pusat kekuasaan berdasarkan asumsi: daripada mengikuti pemerintahan yang sudah rontok di pusat, lebih baik kamimemisahkandiri.
Ketiga, krisissosial dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat (suku, agama, ras). Jadi, di kala krisis ekonomi sudah semakin parah, yang akibatnya antara lain terlihat melalui rontoknya berbagai sektor usaha, naiknya jumlah penganggur, dan meroketnya harga berbagai produk, maka kriminalitas pun akan meningkat dan berbagai ketegangan sosial menjadi sulit dihindari. Dalam situasi seperti ini, hukum akan terancam supremasinya dan kohensi sosial terancam robek. Suasana kebersamaan akan pupus dan rasa saling percaya akan terus menipis. Sebagai gantinya, eksklusivisme, entah berdasar agama, ras, suku, atau kelas yang dibumbui sikap saling curiga yang terus menyebar dalam hubungan antarkelompok. Bila berbagai ketegangan ini tidak segera diatasi, maka eskalasi konflik menjaditakterhindarkan.Disharmoni sosial pun dengan mudah akan menyebar. Modal sosial berupa suasana saling percaya, yang merupakan landasan bagi eksistensi sebuah masyarakat bangsa, perlahan-lahan akan hancur.
Keempat, intervensi internasional yang bertujuan memecah belah, seraya mengambil keuntungan dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya terhadap kebijakan politik dan ekonomi negara-negara baru pascadisintegrasi. Intervensi itu bergerak dari yang paling lunak, berupa pemberian advis yang membingungkan kepada pemerintah nasional yang pada dasarnya sudah kehilangan arah; ke bentuk yang agak kenyal, berupa provokasi terhadap kelompok-kelompok yang berkonflik; hingga yang paling keras, berupa suplai kebutuhan material untuk memperkuat kelompok-kelompok yang berkonflik itu. Proses intervensi terakhir ini amat mungkin terjadi saat pemerintah nasional sudah benar-benar tak berdaya mengontrol lalu lintas informasi, komunikasi, mobilitas sosial, serta transportasi darat, laut, dan udara.Bila ini terjadi,maka jalan menuju disintegrasi semakin jelas, hanya menunggu waktu sebelum menjadi kenyataan.
Kelima, demoralisasi tentara dan polisi dalam bentuk pupusnya keyakinan mereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai bhayangkari negara.
Demoralisasi itu, pada kadar yang rendah dipengaruhi oleh merosotnya nilai gaji yang mereka terima akibat krisis ekonomi.
Kemerosotan itu umumnya terjadi akibat inflasi. Tetapi dalam kasus tertentu hal itu diakibatkan oleh kebijakan pemerintah untuk menurunkan gaji mereka atau membayar kurang dari 100 persen dan sisanya menjadi utang pemerintah. Pada tingkat tinggi, demoralisasi itu berupa hilangnya kepercayaan mereka terhadap nilai pengabdian setelah mengalami tekanan-tekanan psikologis yang berat dalam waktu lama akibat krisis politik yang akut.
Dalam situasi seperti ini, tentara dan polisi yang seyogianya mencegah konflik sosial malah bisa tergiring untuk mengambil bagian dalam konflik itu dengan berbagai alasan. Secara teoretik, ketika negara tidak lagi memberi harga yang pantas terhadap pengorbanan tentara dan polisi dalam menjaga integrasi bangsa, maka tempat paling aman bagi segmen-segmen tertentu dari mereka adalah kelompok-kelompok sosial di mana mereka bisa mengidentikkan dirinya.
Karena itu, demoralisasi tentara dan polisi amat rawan terhadap perluasan dan intensitas konflik sosial yang sedang terjadi. Keterlibatan yang luas dari tentara dan polisi dalam konflik sosial akan mengkonversi konflik itu sendiri menjadi perang saudara yang justru merupakan episode terakhir dari proses disintegrasi bangsa dan keruntuhan sebuah negara.



















BAB VI
KESIMPULAN dan SARAN
6.1 Ungkapan Singkat Tentang Masalah
Komitmen NKRI
Setiap negara pasti menginginkan negaranya tetap utuh, tidak ada satu wilayah pun yang terlepas dari kedaulatannya. Oleh karena itu jika ada konflik yang mengancam persatuan bangsa harus ditangani dengan baik. Untuk mencegah terjadinya disintegrasi bangsa sebagai akibat dari konflik Papua, pemerintah melakukan berbagai tindakan yang oleh tim LIPI diidentifikasikan menjadi empat agenda utama dan pilihan kebijakan atau agenda yang dapat dilakukan oleh lembaga negara dan masyarakat sipil dalam dan luar negeri. Keempat agenda untuk menyelesaikan konflik ini adalah :
1. Pengakuan
Untuk masyarakat asli Papua, pengakuan adalah istilah yang menggambarkan sebuah proses sosial dimana konsep Papua dan identitas orang Papua menggambarkan isu utama yang menjadi tujuan mereka. Hal ini termasuk sebuah strategi sosial afirmasi positif yang bertujuan untuk membantu masyarakat asli Papua untuk melindungi sumber daya mereka sehingga masyarakat asli Papua berada dalam posisi untuk bernegosiasi dan memiliki sumber daya yang diperlukan untuk dinegosiasikan dalam kesiapan untuk perubahan sosial yang cepat sambil menikmati keuntungan bagi kehidupan dan kesejahteraan mereka. Dari perspektif budaya, pengakuan yang diberikan kepada masyarakat asli Papua merupakan faktor penting untuk membuat masyarakat asli Papua merasa bahwa mereka memiliki area sendiri di antara keberagaman budaya Indonesia
2. Paradigma baru pembangunan
Sebuah paradigma baru untuk pembangunan di Papua diperlukan untukmemperkuat kebijakan pengakuan terhadap masyarakat asli Papua dalam arti meningkatkan kualitas hidup masyarakat asli Papua ke tingkat warga negara Indonesia seperti masyarakat lainnya. Program pembangunan harus dapat memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak orang Papua dalam kesejahteraan pendidikan, kesehatan dan ekonomi karena walaupun Otonomi Khusus telah berlaku selama lebih dari lima tahun di Papua, tetapi gagal membawa perubahan yang signifikan. Program pembangunan yang berjalan sangat lambat terutama di empat sektor yang telah diprioritaskan oleh pemerintah pusat. Itulah sebabnya agenda ini sangat penting bagi proses penghentian konflik di Papua.
3. Dialog
Hubungan antara pemerintah pusat (Jakarta) dan masyarakat asli Papua diblokir oleh ‘tembok tinggi’ dari konstruksi politik yang berbeda tentang sejarah dan status politik Papua. Konstruksi yang berbeda antara nasionalisme Indonesia dan nasionalisme Papua tidak pernah dibahas dan stigma serta ketidakpercayaan antara kedua belah pihak telah mendalam. Dalam sejumlah kasus, ketidakpercayaan antara elemen negara di satu pihak dan masyarakat sipil di Jakarta dan di Papua, maupun di dalam masyarakat Papua itu sendiri cenderung meningkat. Oleh karena itu dialog harus dijalankan dalam arti yang sebenarnya. Dialog harus dipahami sebagai sebuah kerangka untuk mencapai sebuah kesepakatan.
4. Rekonsiliasi
Ada tiga alasan mengapa rekonsiliasi menjadi sangat penting unutk dilakukan. Yang pertama adalah tuntutan untuk merdeka dari Indonesia dipandang sebagai ancaman terhadap integritas wilayah Republik Indonesia. Kedua, polarisasi dalam masyarakat asli Papua antara mereka yang setia terhadap pemerintah pusat dengan mereka yang menuntut kemerdekaan. Alasan ketiga adalah adanya trauma akibat konflik yang berkepanjangan.
Interrelationship
Pelaksaan empat agenda penyelesaian konflik tersebut haruslah melibatkan elemen-elemen bangsa untuk mengoptimalkannya. Hal ini sejalan dengan wawasan nusantara yang menjadi pedoman Indonesia dalam menjaga keutuhan kedaulatannya. Keterlibatan elemen-elemen bangsa ini disebut dengan interrelationship. Sesuai dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2002 tentang Ketentuan Umum Pertahanan Negara maka Interrelationship dalam Sistem Pertahanan Negara adalah hubungan antara komponen-komponen yang terlibat (warga Negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya) untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Dalam konflik Papua, penanganannya bisa dimulai dari setiap lapisan suku. Dengan pendekatan yang baik dari pemerintah yang bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat kepada setiap lapisan suku tersebut, akan lebih mudah untuk menjaga kestabilan keamanan dan membantu komunikasi antar kelompok masyarakat sehingga konflik pun dapat diminimalisir.
Selain itu, dalam kasus Papua, pemerintah Indonesia juga melakukan berbagai usaha penghentian konflik mulai dari negosiasi sampai pada pemberian otonomi khusus melalui Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati.
Berdasarkan hal-hal tersebut, pemberian otonomi khusus identik dengan penyerahan kekuasaan secara penuh kepada masyarakat Papua, kecuali 5 bidang pemerintahan yang tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Hal ini tercantum pada Pasal 4 ayat 1 UU No 21 Tahun 2001. Program pokok dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua adalah pemerintah Provinsi harus mengambil kebijakan sebagai berikut:
  1. Kebijakan dan aksi keberpihakan (affirmative policy and action) terhadap masyarakat asli Papua.
  2. Kebijakan dan aksi perlindungan (protetive policy and action) terhadap masyarakat asli Papua.
  3. Kebijakan dan aksi pemberdayaan (empowermental policy and action) terhadap masyarakat asli Papua.
Inti dari ketiga bidang kebijakan tersebut adalah penetapan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) substansial untuk mewujudkan keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap masyarakat asli Papua. Hal ini untuk menumbuhkan rasa bahwa masyarakat Papua juga diakui oleh Indonesia.
Walaupun otonomi khusus tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, tetapi muncul keinginan dari berbagai pihak untuk dapat memperbaiki kondisi di Papua dengan melibatkan elemen-elemen warga negara yang berhubungan dengan hal tersebut. Sumber daya yang berasal dari wilayah Papua juga di manfaatkan untuk perdamaian sehingga mampu meredam keinginan untuk merdeka dan mewujudkan pertahanan negara.
Kerjasama Pertahanan
Mewujudkan sistem pertahanan negara di Papua bukanlah hal yang mudah. Geografis wilayah yang luas dan sulit dijangkau membuat upaya menjaga keamanan menjadi lebih sulit. Selain itu, beragamnya tradisi yang ada disana juga membuat cara-cara membangun pertahanan harus dilakukan dengan cara yang berbeda-beda pula.
Sistem Petahanan Negara Indonesia secara implisit membagi hubungan tersebut dalam tiga tingkatan yaitu global, regional, dan nasional. Semua tingkatan tersebut menganut paham kesetaraan. Pada tingkat global, sistem pertahanan Indonesia ikut aktif dalam organisasi perserikatan bangsa-bangsa kerjasama internasional lainnya. Pada tingkatan regional, sistem pertahanan Indonesia melakukan kerjasama dengan negara-negara di ASEAN. Pada tingkatan nasional, sistem pertahanan Indonesia yang bercirikan kerakyatan, kesemestaan, dan kewilayahan menganggap bahwa seluruh wilayah dalam NKRI berkedudukan sejajar dan oleh karenanya penyelesaian konflik di kedepankan melalui dialog, kerjasama, dan pendekatan persuasif.
Selain dengan interrelationship yang melibatkan elemen-elemen bangsa, untuk menangani hal tersebut, pemerintah juga harus mengadakan kerjasama pertahanan dengan pihak internasional. Melalui berbagai forum internasional, Indonesia menggalang dukungan untuk penyelesaian konflik Papua dan mencegah disintegrasi bangsa. Indonesia menggandeng negara-negara tetangga seperti Australia dan Papua Nugini untuk dapat membantu menangani masalah ini.
Tulisan ini merekomendasikan untuk (1) menjalankan empat agenda penyelesaian konflik yang telah disusun, yaitu dengan memberikan pengakuan kepada masyarakat asli Papua, membuat sistem pembangunan yang baru, mangadakan dialog yang tepat, dan membuat sebuah rekonsiliasi. (2) melibatkan elemen-elemen bangsa untuk membantu penyelesaian konflik. Misalnya dengan memberdayakan LSM untuk dapat masuk ke dalam masyarakat dan menjadi komunikator disana. (3) menjaga agar konflik yang terjadi dapat ditekan dan tidak meluas.
Apabila langkah-langkah tersebut di atas berhasil dilakukan maka pertahanan negara Indonesia terwujud dan keinginan Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia dapat dihentikan sehingga persatuan kedaulatan NKRI tetap terjaga. Namun, pemerintah bersama-sama dengan elemen masyarakat harus tetap mmampu menjaga perdamaian yang berhasil diraih supaya tidak terjadi lagi konflik di Papua.





















6.2 Kesimpulan
.   
Hasil penelitian menunjukkan dibutuhkan penyelesaian :
1) secara hukum dengan pengimplementasian Otsus, upaya penyelesaian dan pencegahan pelanggaran hak asasi manusia
2) penyelesaian masalah politik
3) penyelesaian masalah ekonomi
4) penyelesaian masalah identitas kultural
perbedaan persepsi tentang sejarah politik Papua yang menimbulkan pelanggaran HAM, perbedaan persepsi pihak masyarakat Papua yang tidak diselesaikan secara demokratis yang menimbulkan pemahaman tentang identitas kultural yang berbeda dengan identitas kultural masyarakat Indonesia. Upaya pemerintah dengan pemberlakukan otsus belum mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat.


6.3 Saran
Perlunya dialog pusat dan daerah dan antar masyarakat Papua, penyelesaian pelangaran HAM berat, penguatan otsus dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang menghambat kewenangan pemerintah dalam menjalankan otsus, dan menghindari penggunaan hukum pidana untuk menanggapi aktivitas-aktivitas politik damai.



DAFTAR PUSTAKA
Djumharjinis, 2012, pendidikan pancasila, demokrasi dan HAM, widya, Jakarta









Tidak ada komentar:

Posting Komentar